Daftar Isi
Hampir dua tahun industri penerbangan berada dalam masa kegelapan dan kini para maskapai penerbangan mulai dapat sedikit bernafas, ada cahaya di lorong yang gelap. Tapi sayang tidak untuk Garuda Indonesia. Maskapai kebanggaan bangsa itu justru semakin terperosok masuk kedalam lubang sempit yang gelap gulita. Apa sih penyebab kehancuran Garuda yang sesungguhnya? Bagaimana maskapai penerbangan mengakali pandemi dan apa aksi yang dilakukan untuk menyelamatkan Garuda? Lalu seperti apa masa depan industri penerbangan dan apa pelajaran penting yang bisa kita petik dari tragedi Garuda Indonesia ini. Yuk kita simak jawabannya di artikel berikut ini.
Masa Kelam Industri Penerbangan
Data dari Airports Council International menunjukkan bahwa COVID-19 menyebabkan penurunan 64,6% dari lalu lintas penumpang penerbangan global di tahun 2020. Asia Pasifik mencatat kerugian tertinggi dengan kehilangan 2,15 miliar penumpang jika dibandingkan dengan baseline yang diproyeksikan. Volume penumpang internasional berada dibawah 1 miliar, turun drastis dibandingkan volume 2019. Sementara lalu lintas penumpang internasional hampir tidak ada pada paruh kedua tahun 2020.
Lalu bagimana maskapai penerbangan dapat bertahan hidup? Ternyata keberlangsungan hidup mereka sebagian besar bergantung pada bantuan pemerintah, baik langsung maupun tidak langsung. Bentuknya bisa suntikan modal, pinjaman, penundaan pembayaran pajak, dan juga pengurangan kewajiban pajak. Bantuan ini mencegah kegagalan maskapai yang lebih luas di tahun 2021 ini. Pasar saham yang kuat didukung oleh suku bunga yang rendah secara historis juga telah membantu maskapai industri penerbangan dalam meningkatkan hutang dan bahkan ekuitasnya.
Selain itu, semua maskapai melakukan pengurangan biaya besar-besaran, termasuk diantaranya dengan merumahkan karyawan, memotong nilai gaji karyawan, hingga melakukan pemutusan hubungan kerja. Di Indonesia langkah itu ditempuh oleh Sriwijaya Air, Garuda Indonesia, Lion Air, Susi Air dan juga AirAsia. Beberapa maskapai di industri penerbangan berinovasi untuk bisa keluar dari krisis. British Airways misalnya mengubah model operasinya untuk fokus pada penerbangan jarak dekat dan model perawatan yang baru.
Singapore Airlines menggunakan teknologi untuk menata ulang setiap aspek pengalaman untuk membuat perjalanan se-aman mungkin baik bagi penumpang maupun untuk karyawannya. Serta memberikan solusi digital untuk segala hal, mulai dari booking tiket hingga hiburan dalam penerbangan. AirAsia memperluas bisnisnya menjadi lebih dari sekedar maskapai penerbangan. AirAsia menunjukkan super app yang mencakup ekosistem layanan baru termasuk delivery makanan dan kebutuhan rumah tangga serta belanja online.
Tentu saja itu disamping booking tiket penerbangan dan kamar hotel ya. AirAsia juga meluncurkan aplikasi ride hailing yang disebut AirAsia Ride. Sebuah aplikasi tunggal From Flight to Ride. Sementara anak perusahaan Garuda yaitu Citilink fokus pada bisnis kargo yang berhasil mencatatkan kinerja positif di tengah pandemi. VP Corporate Secretary dan CSR Citilink Resty Kusandarina mengatakan bahwa lini bisnis kargo mencatat rekor pendapatan tertinggi sejak Citilink beroperasi pada tahun 2012.
Sayap Patah Garuda Indonesia di Industri Penerbangan
Seiring dengan pelandaian curva pandemi yang terjadi pada kuartal ketiga 2021, Badan Pusat Statistik melaporkan adanya peningkatan jumlah penumpang angkutan udara domestik menjadi 2 juta orang pada September 2021 atau naik 84,04% dibandingkan Agustus 2021. Aktivitas industri penerbangan di berbagai bandara di tanah air pun terlihat meningkat signifikan.
- Bandara Ngurah Rai Denpasar naik 140,30%
- Bandara Hasanuddin Makassar naik 84,16%
- Soekarno Hatta Banten naik 74,48%
- Bandara Juanda Surabaya naik 70,67% dan
- Bandara Kualanamu Medan naik 62,78%
Hal itu menunjukkan adanya perbaikan dari industri jasa penerbangan di tanah air. Pertanyaannya adalah apakah dengan perbaikan itu berarti kondisi kesehatan maskapai-maskapai kita juga berangsur-angsur pulih? Serasa terlalu dini untuk menyimpulkan walau ada satu hal yang saya yakin banyak pihak akan sepakat. Sementara industri penerbangan di Indonesia dan dunia mulai melihat cahaya di ujung lorong yang gelap, maskapai kebanggaan kita Garuda Indonesia justru semakin terperosok masuk kedalam lubang sempit yang gelap gulita.
Apa yang terjadi? Semua maskapai di dunia menderita gara-gara pandemi, namun pukulan pandemi pada Garuda begitu kuat sehingga berpeluang akan meng-KO maskapai yang pernah mendapat banyak penghargaan bergengsi dunia itu. Bukan karena pandemi memukul Garuda lebih keras dibandingkan maskapai lain, tapi karena tubuh Garuda memang sudah rapuh dan sakit-sakitan sejak lebih dari satu dekade lalu. Nasib burung garuda itu seperti sudah ditetapkan jauh hari sebelum pandemi. COVID-19 itu cuma akseleran yang mempercepat datangnya nasib buruk itu.
CNBC Indonesia melaporkan bahwa Garuda Indonesia memiliki hutang 128 Triliun Rupiah dan terus bertambah satu setengah hingga dua triliun setiap bulannya. Nilai Ekuitas Garuda Indonesia minus 41 Triliun Rupiah, sehingga menurut wakil menteri BUMN Kartika Wirtjoatmodjo sebenarnya Garuda secara teknis sudah bangkrut. Apa penyebab parahnya kondisi keuangan Garuda.
- Garuda mengambil rute penerbangan yang tidak menguntungkan termasuk penerbangan internasional ke mancanegara yang seharusnya cukup dikerjasamakan dengan maskapai Global saja.
- Garuda menggunakan jenis pesawat yang sangat beragam. Hal itu menyebabkan kompleksitas operasionalnya yang tidak perlu dan tingginya biaya pemeliharaan pesawat.
- Biaya sewa pesawat Garuda Indonesia empat kali lebih mahal dari rata-rata global. Dengan mengutip data Bloomberg, porsi sewa pesawat dibandingkan pendapatan Garuda itu mencapai 24,3%. Jumlah itu jauh diatas rata-rata maskapai di negara lain yang berkisar hanya 5 – 8% saja.
Staff khusus menteri BUMN Arya Sinulingga mengatakan bahwa manajemen Garuda terdahulu menjalankan bisnis penerbangan secara ugal-ugalan. Ugal-ugalan yang dimaksud itu bukan hanya sekedar urusan pengelolaan bisnis yang buruk, tetapi seperti yang dikatakan menteri BUMN Erick Tohir dalam acara Kick Andy, ada skenario mencari uang di sewa-sewa pesawat. Oknum pimpinan Garuda saat itu senang membuka rute penerbangan ke luar negeri walaupun tidak menguntungkan. Nah, dari situ menggunakan bahasanya Pak Erick :
“Dibikin skenario kalau terbang kesini ya
musti pakai pesawat ini”
Akibatnya Garuda punya jenis pesawat paling banyak di dunia dengan biaya sewa pesawat yang juga paling mahal di dunia industri penerbangan. Dugaan korupsi dalam tubuh Garuda itu sudah ada dan dilaporkan sejak tahun 2005 dan ujungnya kita tahu ya Emirsyah Satar mantan direktur utama Garuda dan Hadinoto Soedigno yaitu teknik dan pengelolaan armada Garuda masing-masing dihukum 8 tahun penjara dalam kasus korupsi dan pencucian uang pembelian pesawat hingga pemeliharaan pesawat di perusahaan plat merah tersebut.
Aksi Penyelamatan Garuda Indonesia
Apa langkah Garuda untuk menyelamatkan bisnisnya di industri penerbangan indonesia?
1. Potong biaya operasional
Yang pertama tentu saja potong biaya operasional semaksimal mungkin. Garuda telah merumahkan karyawan dan melakukan pemotongan gaji sejak pertengahan tahun 2020. Juga menawarkan program pensiun dini pada karyawannya. Selain itu Garuda juga memangkas 50% armada pesawatnya.
2. Restrukturisasi hutang
Yang kedua adalah restrukturisasi hutang. Direktur utama Garuda Irfan Setiaputra mengajukan proposal yang terdiri atas tiga bagian.
- Mengurangi jumlah utang secarasignifikan kedua
- Selama traffic penerbangan belum normal, Garuda hanya membayar sewa bila pesawat digunakan.
- Garuda akan membayar biaya sewa pesawat sesuai harga pasar ketika traffic sudah kembali normal.
Namun demikian, koordinator Serikat karyawan Garuda Indonesia, Tomy Tampati mengkhawatirkan bahwa fokus Garuda pada rekayasa keuangan dan restrukturisasi hutang itu justru menjauhkan Garuda dari akar masalah yang sebenarnya. Tomy menilai Garuda bermasalah secara fundamental dalam hal ketepatan memilih alat produksi, pemilihan penerbangan, dan juga ketepatan people proses teknologi.
3. Desain model bisnis baru
Aksi penyelamatan Garuda yang ketiga adalah desain model bisnis baru Garuda. Pak Irfan Setiaputra mengatakan bahwa Garuda telah memiliki rencana bisnis model baru untuk Tahun 2022 hingga 2026 dengan bertransformasi menjadi New Garuda Airlines. Ia mengatakan nantinya kehadiran perusahaan ini akan lebih simple, lebih menguntungkan dan efisien. Jumlah pesawat yang beroperasi, tipe pesawat yang digunakan, serta rute yang dilayani akan sangat berkurang dibandingkan yang Garuda miliki sekarang.
Garuda juga akan fokus di penerbangan domestik, dimana Indonesia memiliki pasar yang sangat luas. Untuk penerbangan luar negeri akan dikerjasamakan dengan maskapai global dan saat ini Garuda sudah mendatangani perjanjian codesharing dengan Emirates Airline yang memungkinkan pelanggan Garuda tetap bisa menjelajahi rute internasional menggunakan pesawat-pesawat dari Emirates. Selain fokus pada pasar domestik, Garuda juga akan lebih serius menggarap bisnis kargo. Pak Irfan meyakini prospek bisnis kargo itu sangat baik.
Ia menyebutkan rata-rata jumlah angkutan kargo internasional Garuda bisa mencapai 25 ton tiap penerbangannya. Selain cargo, beliau juga mengatakan bahwa selain di bisnis penerbangan, Garuda akan masuk ke bisnis fashion. Saat ini Garuda menjual jaket bomber berlogo Garuda bekerjasama dengan Goods Dept dan juga Tumbler Garuda yang tersedia di berbagai marketplace. Walau jujur kalau terkait hal ini ya saya kok gagal paham gitu, bagaimana bisnis fashion bisa menyelamatkan Garuda.
Oh ya tentu saja semua rencana bisnis yang diungkap Pak Irfan tadi itu hanya bisa akan jalan kalau Garuda berhasil dalam melakukan negosiasi dengan para Lender, lessor pesawat, hingga pemegang sukuk global. Kalau gagal maka opsi penutupan maskapai Garuda Indonesia akan lebih terlihat sebagai pilihan pahit yang lebih realistis.
Masa Depan Industri Penerbangan
Dibulan April 2021 McKinsey memproyeksikan bahwa lalu lintas penerbangan tidak akan kembali ke level 2019 sebelum tahun 2024 mendatang. Perubahan pada karakteristik dan preferensi penumpang juga tengah terjadi. Tren remote working dan work from anywhere memicu berkurangnya perjalanan bisnis. Tapi di saat yang sama memancing perjalanan wisata. Maka maskapai perlu mempelajari ulang pelanggan mereka dan tentu saja kemudian menyusun ulang strategi bisnis dan desain dari layanannya.
Saat ini maskapai tidak punya pilihan. Untuk bertahan hidup mereka harus berinovasi merebutkan pelanggan di pasar yang ukurannya mengecil. Saat ini mereka tengah mengkaji ulang rute-rute penerbangan untuk menemukan rute yang paling efisien dan tentu saja menguntungkan mereka. Lalu terus menerus menguji coba konsep layanan baru dalam proposisi pengalaman penumpang mereka. Para maskapai juga mendorong peningkatan penggunaan teknologi dan otomatisasi disemua bidang bisnis mereka. Sambil mempertahankan produktivitas, kreativitas, dan kualitas dari layanannya.
Hal yang menarik yang terjadi di tengah semua ini adalah munculnya banyak startup maskapai penerbangan baru di industri penerbangan. CAPA Centre For Aviation mencatat ada 42 maskapai baru yang didirikan semenjak pandemi dimulai dan setidaknya masih ada 36 lagi yang akan segera diluncurkan. Dalam industri penerbangan, barrier to entry atau hambatan untuk masuk ke dalam industri memang tergolong rendah. Tapi kini sepertinya pandemi membuat barrier itu menjadi jauh lebih rendah.
Executive Chairman dari sebuah perusahaan penyewaan pesawat terbang yang berbasis di Los Angeles Amerika Serikat menyebutkan ada tiga hal yang menggoda pengusaha untuk masuk ke industri penerbangan saat ini. Yaitu akses modal yang relatif mudah, kemudian tersedianya pesawat bekas yang masih muda dan harganya bagus. Dan juga melimpahnya jumlah pilot dan pramugari yang tengah mencari kerja.
Tentu tidak ada satupun orang yang tahu apakah maskapai-maskapai baru ini akan dapat berhasil di tengah ketidakpastian dunia penerbangan saat ini hingga beberapa tahun ke depan. Tapi yang pasti, para maskapai baru ini mendesain bisnisnya secara khusus untuk menangkap peluang pasar penerbangan pasca pandemi di industri penerbangan. Strateginya, sistem operasinya, produk dan layanannya semua itu didesain berdasarkan analisa tajam situasi saat ini dan tren industri penerbangan yang tengah terbentuk. Pertanyaannya justru adalah apakah maskapai lama yang saat ini telah terbebani oleh hutang yang besar dan sistem operasi yang sudah usang akan dapat bersaing melawan maskapai-maskapai baru ini.
Pelajaran Penting Untuk Kita
Bisnis itu seperti kehidupan
“You reap what you sow”
Anda menuai apa yang Anda tanam. Jika anda menanam keburukan maka seperti apapun selimut keindahan yang membungkusnya keburukan itu akan tumbuh semakin besar dibalik selimut, hingga pada akhirnya muncul ke permukaan bak air bah yang menghancurkan semua kebaikan yang pernah ditanam. Kita pernah bangga pada Garuda. Maskapai pelat merah itu melakukan Turn Around bisnis yang fantastis, memenangkan banyak award bergengsi dan menempatkan Indonesia pada peta industri penerbangan dunia.
Namun sayang dibalik segala keindahan itu, Garuda dikelola secara ugal-ugalan. Korupsi menggerogoti tiang pondasi bisnis Garuda di industri penerbangan indonesia. Selama hampir dua dekade, dosa masa lalu Garuda terus jadi beban yang membuat sayap sayap Garuda semakin melemah hingga pada akhirnya patah. Maka bukan penemu yang akan membunuh Garuda, ia hanya mempercepa datangnya malaikat pencabut nyawa yang kini sudah menanti didepan pintu.
Saya ingin mengajak anda untuk melihat perusahaan anda saat ini. Dibalik segala keindahan yang anda pamerkan ke publik, seberapa baik perusahaan anda telah dikelola? Seberapa kuat tiang pondasi bisnisnya? Sejauh mana keputusan yang anda buat akan menjamin keberlangsungan dan pertumbuhan usaha di masa depan? Atau jangan-jangan selama ini perusahaan anda hanya fokus pada mengeruk keuntungan sebesar-besarnya untuk hari ini saja. Mungkin tidak ada korupsi uang dalam perusahaan kita tetapi jangan-jangan tanpa kita sadari kita tengah korupsi masa depan.
Kita abaikan masa depan bahkan kita rusak. Kita terus membuang limbah yang merusak lingkungan, kita terus menimbun hutang yang kelak akan jadi beban anak cucu kita. Hampir semua perusahaan fokus pada sales dan efisiensi, tidak masalah karena keduanya jelas akan memberikan keuntungan besar untuk hari ini. Tapi, bagaimana dengan masa depan? Sejauh mana kita sudah berinvestasi untuk membangun masa depan bukan sekedar memenangkan hari ini?
Semakin berumur semakin saya menyadari bahwa semua yang saya miliki saat ini hanyalah titipan. Tugas saya adalah menjaga titipan itu sebaik mungkin dan juga menumbuhkannya semampu saya. Sehingga kelak ketika sang Maha memiliki dan memintanya kembali, saya berharap saya akan bisa menyerahkan yang terbaik padanya. Legacy kita tidak ditentukan oleh prestasi kita hari ini, melainkan oleh apa yang kita tinggalkan untuk anak cucu kita nanti.
Semoga artikel ini bermanfaat.